Carbon Capture Storage Indonesia: Regulasi dan Pemanfaatannya
Alur pemanfaatan Carbon Capture and Storage Indonesia dan Global (CCS) |
Dampak Sejarah Isu Pemanasan Global Terhadap Pentingnya CCS dan CCUS
Isu pemanasan global sebenarnya telah muncul sejak tahun 1990-an. Mungkin pembaca pernah tahu ketika Al Gore (Albert Arnold Gore Jr.), yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat, mulai aktif berbicara di publik dan menyampaikan bahwa:
Kita harus lebih memperhatikan lingkungan karena pemanasan global sudah mulai terjadi.
Pernyataan ini kemudian direspons oleh banyak negara, salah satunya dengan diadakannya kesepakatan penting pada tahun 1997.
Pada tahun tersebut, negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui sebuah kesepakatan yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Protokol ini dinaungi oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dalam Protokol Kyoto, negara-negara setuju untuk menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca, dengan fokus utama pada sektor industri yang dianggap sebagai salah satu penyumbang utama emisi.
Target ini mulai berlaku pada tahun 2005, dengan harapan bahwa industri-industri di dunia akan memperketat batasan emisi yang mereka hasilkan. Selain itu, kesepakatan ini juga menekankan pentingnya kesadaran negara-negara untuk mengontrol aktivitas industri mereka, sehingga tetap dalam batasan emisi yang disepakati.
Sejarah isu pemanasan global yang membuat teknologi CCS dan CCUS begitu penting. |
Tujuan Utama Protokol Kyoto:
- Mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 5% dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 1990.
- Mendorong negara-negara untuk memiliki komitmen dalam mengurangi dampak industri terhadap lingkungan.
Seiring berjalannya waktu, kesadaran global terkait perubahan iklim semakin nyata. Pada tahun 2015, dalam Conference of the Parties (COP 21) di Paris, disepakati sebuah perjanjian baru yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini diadopsi oleh lebih dari 190 negara, yang berkomitmen untuk membatasi pemanasan global agar tidak melebihi 2°C di atas level pra-industri, dengan target jangka panjang untuk tetap berada di bawah 1,5°C. Hal ini dianggap sangat penting karena suhu global yang terus meningkat akan menyebabkan dampak yang sangat merugikan bagi manusia dan lingkungan.
Poin-poin Penting Perjanjian Paris:
- Membatasi kenaikan suhu global agar tetap di bawah 2°C, dengan target ideal di bawah 1,5°C.
- Memastikan setiap negara melakukan pengukuran dan pelaporan terhadap kontribusi mereka dalam mengurangi emisi karbon.
- Mendorong negara untuk terus meningkatkan ambisi iklim mereka dalam siklus lima tahunan.
Pada tahun 2019, beberapa negara bahkan menyatakan keadaan darurat iklim (climate emergency). Pernyataan ini didasari oleh kesadaran bahwa jika suhu global melebihi 1,5°C, sekitar 210 juta orang akan terkena dampak bencana seperti banjir besar. Selain itu, menurut laporan global, sekitar 14% populasi dunia akan terkena gelombang panas (heatwave) setiap lima tahun sekali.
Dampak Nyata Perubahan Iklim:
- Banjir besar yang terjadi di beberapa wilayah, termasuk di Indonesia, menunjukkan adanya gangguan ekosistem yang mempengaruhi kemampuan alam dalam menyerap air.
- Kenaikan suhu yang signifikan akan meningkatkan risiko bagi masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama yang berada di wilayah pesisir.
Kesadaran akan dampak perubahan iklim ini harus terus ditingkatkan. Setiap negara dan individu memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan dan meminimalkan dampak dari perubahan iklim global.
Kondisi dan Metode yang Digunakan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim
Laporan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia
Indonesia memiliki tahapan-tahapan kebijakan yang jelas dalam upaya menanggulangi perubahan iklim. Sebagai negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang telah menandatangani komitmen internasional, Indonesia mengembangkan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Dalam NDC, target pengurangan emisi dan langkah-langkah mitigasi perubahan iklim ditetapkan sesuai dengan kapasitas dan kondisi masing-masing negara. NDC juga menjadi dokumen yang menguraikan rencana negara dalam mencapai batas-batas emisi, serta target menuju net zero emission pada tahun 2060, atau bahkan lebih cepat jika memungkinkan.
Indonesia sendiri telah memiliki pedoman dan laporan yang menguraikan strategi untuk meningkatkan (enhance) aksi iklim, termasuk langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai target tersebut. Buku panduan ini mencakup berbagai kebijakan, program, serta langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan hingga 2030.
Setiap negara memiliki NDC yang disesuaikan dengan kondisi nasional mereka, namun tetap dalam kerangka komitmen global untuk menekan laju perubahan iklim.
Greenhouse Gas (GHG) Indonesia
Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (Greenhouse Gas - GHG). Berdasarkan data dari kawasan Asia-Pasifik, Indonesia menyumbang sekitar 3,11% dari total emisi GHG global. Dalam hal Fundability terkait perubahan iklim, Indonesia berada di peringkat 103 dunia. Semua informasi ini dapat diakses secara publik, termasuk rincian lengkap mengenai kontribusi Indonesia melalui Nationally Determined Contribution (NDC).
Melalui NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,8% untuk skenario unconditional dan 43,2% dalam skenario conditional. Target ini merupakan peningkatan dari komitmen sebelumnya. Revisi terbaru NDC juga mencakup restorasi 2 juta hektar lahan melalui program seperti perluasan mangrove dan reboisasi hutan, serta pemulihan ekosistem penting seperti terumbu karang.
Fokus Sektor dalam NDC:
- Pertanian
- Ekosistem Pesisir
- Pengelolaan Air
- Kehutanan
- Penggunaan Lahan
- Energi
- Permukiman
- Pengelolaan Risiko Bencana
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia menargetkan kontribusi yang signifikan dalam upaya global untuk mengurangi emisi GHG dan mencegah dampak lebih lanjut dari perubahan iklim.
Potensi Resiko Perubahan Iklim di Indonesia
Selain pemanasan global, salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia adalah krisis air. Konvensi Air (water Convention) telah mengidentifikasi keterbatasan akses air bersih sebagai risiko utama. Jika ketersediaan air terus menurun, dampak negatifnya akan meluas, termasuk tekanan terhadap ketahanan pangan, punahnya spesies, dan peningkatan frekuensi bencana alam.
Tren emisi Efek Gas Rumah Kaca (GRK) dalam juta ton di Indonesia. Sumber data: Katadata Insight Center (Naskah Muhammad Taufik) |
Kurangnya akses terhadap air juga berdampak buruk pada kualitas gizi masyarakat dan meningkatkan risiko kerawanan pangan.
Menurut proyeksi, Indonesia akan menghadapi risiko besar dalam beberapa dekade mendatang:
- Sekitar 1,4 juta penduduk diperkirakan akan mengalami banjir ekstrem antara tahun 2035-2044.
- Suhu rata-rata diprediksi naik sebesar 0,8 hingga 1,4°C pada tahun 2050.
- Sebanyak 4,2 juta penduduk diperkirakan akan terdampak banjir permanen, yang juga dapat memicu kegagalan produksi pertanian.
- Peningkatan jumlah keluarga prasejahtera akibat kerusakan ekosistem, yang pada akhirnya akan menjadi masalah nasional yang serius.
Kebijakan Pasar Karbon
Berbicara mengenai jual beli karbon, tidak lepas dari konsep pasar dan mekanisme harga. Dalam konteks ekonomi, pasar karbon menentukan harga berdasarkan tingkat perubahan emisi, kepatuhan (compliance), serta peran pasar itu sendiri.
Ada beberapa instrumen yang digunakan oleh negara untuk mengelola transaksi pasar karbon, salah satunya melalui Bursa Efek Indonesia (IDX) yang memungkinkan perdagangan terbuka. Selain itu, terdapat mekanisme perdagangan sukarela (voluntary market), di mana perusahaan dalam satu grup dapat memperdagangkan kredit emisi secara internal. Jika satu perusahaan melebihi kuota emisi dan yang lain masih berada di bawah batas, maka mereka dapat saling bertukar kuota melalui sistem perdagangan emisi.
Sistem Perdagangan Emisi (Emission Trading Schemes - ETS)
- Menentukan harga dan kuota emisi yang dapat diperdagangkan.
- Sistem ini memungkinkan pengalokasian kuota emisi yang lebih efisien antar perusahaan.
- Instrumen ini juga diatur oleh mekanisme pajak karbon yang ditetapkan oleh pemerintah.
Selain ETS, terdapat Carbon Tax, di mana pemerintah menentukan tarif pajak berdasarkan tingkat emisi yang dihasilkan. Semakin tinggi emisi, semakin besar pajak yang harus dibayar. Ada pula mekanisme kredit karbon, yang mirip dengan konsep kredit di perbankan, di mana alokasi tertentu diberikan sebagai insentif untuk pengurangan emisi.
Secara keseluruhan, semua skema ini memerlukan perencanaan matang, baik oleh perusahaan maupun pemerintah, agar dapat berkontribusi optimal dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Instrumen Pasar Karbon dan Mekanisme ETS
Perusahaan di Indonesia dapat berpartisipasi dalam pasar karbon melalui mekanisme yang bersifat sukarela atau wajib. Saat ini, Indonesia menganut sistem pasar wajib yang diatur oleh pemerintah, sementara pasar sukarela umumnya bersifat lebih bebas dan memungkinkan negosiasi antar pelaku pasar, seperti yang diterapkan di negara-negara lain seperti Singapura dan Selandia Baru.
Mekanisme ETS (Emission Trading System) memungkinkan perdagangan karbon berdasarkan kuota emisi yang telah ditetapkan sebagai bagian dari target NDC (Nationally Determined Contribution). Sistem ini telah diterapkan di beberapa negara, seperti Uni Eropa dan Tiongkok, sebagai upaya untuk mengurangi emisi secara global.
Aturan Nilai Ekonomi Karbon
Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia telah diatur melalui Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021. Cakupan NEK mencakup beberapa aspek, antara lain:
- Perdagangan Karbon: Ini mencakup berbagai metode, termasuk Reset Based Payment (RBP) dan carbon tax.
- Pelaksanaan Perdagangan Karbon: Ini mencakup transaksi perdagangan emisi dan kredit emisi yang dihasilkan.
- Regulasi Lanjutan: Pemerintah, dalam hal ini KLHK, memiliki peran penting dalam menetapkan regulasi yang mendukung pelaksanaan perdagangan karbon.
- Mekanisme Pasar Karbon: Proses perdagangan karbon berlangsung melalui bursa perdagangan, di mana berbagai transaksi pembelian dan penjualan karbon dilakukan dengan mekanisme yang ketat.
Bagi para pembaca yang tertarik untuk terlibat dalam perdagangan karbon di Indonesia, pemahaman tentang nilai ekonomi karbon dan mekanisme pasar yang ada sangatlah penting.
Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon pada tingkat yang paling rendah terjadi antar entitas. Setiap entitas memiliki batas emisi yang ditetapkan. Sebagai contoh, entitas A mungkin masih berada di bawah kuota emisi yang diperbolehkan, sementara entitas B telah melebihi batas yang ditentukan. Dalam upaya untuk mencapai net-zero emission, entitas B dapat membeli sisa kuota emisi dari entitas A.
Ilustrasi sistem perdagangan karbon |
Selain itu, entitas juga dapat mengurangi emisi dengan meningkatkan teknologi, melakukan inovasi dalam rekayasa teknik (engineering), atau menggunakan bahan baku yang lebih ramah lingkungan.
Dalam skala yang lebih besar, setiap negara juga memiliki kuota emisi nasional, yang ditetapkan untuk memastikan seluruh negara di dunia berkolaborasi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai program yang mendukung pengurangan emisi.
Potensi Perdagangan Karbon di Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon, terutama karena luasnya hutan tropis sebesar 125,9 juta hektar yang mampu menyerap sekitar 25,18 miliar ton karbon. Selain itu, Indonesia memiliki kawasan mangrove dan lahan gambut yang kaya, dengan nilai perdagangan karbon yang diperkirakan mencapai 8.000 triliun rupiah. Sebagai perbandingan, angka ini hampir dua kali lipat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, yang sekitar 4.000 triliun rupiah.
Dengan hutan tropis yang luas dan kawasan mangrove terbesar di dunia, potensi Indonesia dalam menyerap karbon sangat signifikan, menjadikannya pemain utama dalam perdagangan karbon global.
Perkembangan Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon melalui proyek-proyek seperti Clean Development Mechanism (CDM) dan Verified Carbon Standard (VCS) harus melalui proses validasi yang ketat. Proyek-proyek ini memerlukan pengukuran, pelaporan, dan validasi atau MRV (Measurement, Report, Validation ) yang akurat untuk memastikan bahwa klaim pengurangan emisi sesuai dengan kenyataan.
Proses ini juga penting dalam memastikan komitmen perusahaan atau negara terhadap pengurangan emisi, terutama dalam mengurangi deforestasi dan memperlambat degradasi hutan. Selain itu, Indonesia juga memiliki mekanisme perdagangan karbon sukarela yang memungkinkan komoditas karbon diperdagangkan melalui bursa karbon.
Peluang Perdagangan Karbon dari Komitmen Net-Zero Emissions
Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan perdagangan karbon dalam komitmennya terhadap Net-Zero Emissions. Transaksi perdagangan karbon menawarkan peluang ekonomi yang baru, yang dikenal sebagai Circular Economy. Dalam ekonomi ini, karbon menjadi komoditas yang bernilai dan bisa diperdagangkan secara global.
Tantangan Perdagangan Karbon di Indonesia
Sebagai negara yang baru saja memperkenalkan konsep ETS, Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam hal desain kebijakan, sumber daya manusia, dan mekanisme digitalisasi. Penting untuk menciptakan baseline digitalisasi yang dapat mempermudah proses pengurangan emisi, serta meningkatkan sosialisasi mengenai pentingnya pengurangan karbon.
Selain itu, teknologi yang ramah lingkungan dan kerangka kerja ESG (Environment, Social, Governance) juga harus diperkuat agar Indonesia dapat bersaing di pasar karbon global. Tantangan ini membuka peluang karir baru di bidang perdagangan karbon, yang saat ini sedang banyak dibutuhkan baik di perusahaan swasta maupun BUMN, serta di berbagai negara di seluruh dunia.
Monitoring, Reporting, and Validation (MRV) Indonesia
Di Indonesia, proses Monitoring, Reporting, and Validation (MRV) dilaksanakan secara bertingkat, mulai dari level kabupaten/kota hingga tingkat provinsi dan nasional. Setiap tahapan pengumpulan data melibatkan perusahaan dan pemerintah, di mana konsep pemeriksaan yang ketat diterapkan.
Proses verifikasi dilakukan di tingkat kabupaten/kota, dan hasil verifikasi ini kemudian dilaporkan ke tingkat provinsi. Selanjutnya, laporan dari provinsi juga akan diverifikasi sebelum disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk proses validasi lebih lanjut.
Harga Karbon
Di Indonesia, nilai karbon melibatkan dua instrumen utama, yaitu pajak karbon dan Emission Trading Scheme (ETS). Kedua instrumen ini memainkan peran penting dalam mengatur harga karbon dan memastikan perusahaan serta negara berkontribusi dalam pengurangan emisi global.
International Monetary Fund (IMF) telah menetapkan panduan harga karbon untuk berbagai tingkat ekonomi negara. Berikut ini merupakan daftar harga karbon menurut IMF:
- $75 per ton untuk negara maju.
- $50 per ton untuk negara berkembang dengan pendapatan tinggi.
- $25 per ton untuk negara berkembang dengan pendapatan rendah, seperti India.
Harga ini berfungsi sebagai dasar penentuan nilai karbon, meskipun harga sebenarnya dapat bervariasi sesuai dengan mekanisme pasar. Dalam beberapa kasus, transaksi karbon bahkan bisa melibatkan skema barter, tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan antara entitas yang terlibat.
Konsep Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS)
CCS (Carbon Capture and Storage) dan CCUS (Carbon Capture Utilization and Storage) adalah dua pendekatan penting dalam mengurangi emisi karbon dioksida (CO₂) yang dihasilkan dari kegiatan industri dan pembangkit energi. Pada dasarnya, konsep ini berkaitan dengan penangkapan CO₂ dari sumber emisi dan mengolahnya untuk berbagai keperluan.
Ketika CO₂ dihasilkan, misalnya dari sebuah pabrik, salah satu cara yang paling efektif untuk menguranginya adalah dengan menangkapnya melalui tanaman (crops) atau hutan, yang secara alami menyerap karbon. Namun, untuk mengelola CO₂ secara lebih efektif, gas tersebut juga dapat disimpan di bawah tanah untuk tujuan lain, seperti dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR) atau penyimpanan geologis.
Carbon Capture and Storage (CCS)
Alur proses Carbon Capture and Storage (CCS) |
Carbon Capture and Storage (CCS) adalah teknologi yang berfokus pada penangkapan (capture) karbon dioksida (CO₂) dan penyimpanannya (storage) di tempat yang aman. Proses ini berfungsi untuk mengurangi emisi CO₂ ke atmosfer dengan cara menangkap gas yang dihasilkan dari kegiatan industri dan menyimpannya secara permanen.
Sebagai contoh, di lapangan gas Natuna, yang dikenal dengan kandungan CO₂ tinggi, karbon dioksida dapat diinjeksi ke dalam reservoir bawah tanah. Selain itu, CO₂ yang tertangkap juga dapat digunakan dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR), di mana gas tersebut digunakan untuk meningkatkan volume minyak yang dapat diambil dari reservoir.
Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS)
Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) telah teridentifikasi sebagai komponen kunci transisi energi. |
Perbedaan utama antara CCS dan CCUS adalah bahwa CCUS mencakup utilisasi (utilization) CO₂ yang telah ditangkap. Utilisasi ini dapat berupa konversi CO₂ menjadi produk bernilai, seperti:
- Bahan bangunan: Menggunakan CO₂ untuk menciptakan material konstruksi yang lebih ramah lingkungan.
- Plastik dan bahan kimia: Mengubah CO₂ menjadi bahan baku untuk industri plastik dan kimia.
- Minuman karbonasi: Menggunakan CO₂ untuk menciptakan minuman berkarbonasi dengan reaksi kimia yang menghasilkan asam karbonat (H₂CO₃).
- Dry ice: Memproduksi dry ice dari CO₂, yang memiliki berbagai aplikasi dalam penyimpanan dingin dan pengawetan.
Prinsip Dasar CCUS
Prinsip dasar CCUS dapat dijelaskan melalui beberapa langkah utama:
- Carbon Capture (Penangkapan Karbon)
Proses penangkapan dimulai di fasilitas industri yang menghasilkan CO₂. Setelah CO₂ ditangkap, gas tersebut dapat diolah lebih lanjut untuk digunakan dalam berbagai aplikasi, seperti bahan baku untuk produk industri.
Jika terdapat kelebihan CO₂, gas ini dapat disimpan di bawah tanah menggunakan metode geological storage. Contohnya, proyek-proyek yang dilakukan oleh Pertamina dan British Petroleum (BP) yang melibatkan penyimpanan CO₂ di lokasi offshore atau bawah tanah. - Carbon Utilization (Utilisasi Karbon)
Utilisasi CO₂ tidak selalu langsung, tetapi memerlukan proses pengolahan yang dapat menciptakan peluang bisnis yang signifikan. Proses ini mencakup kompresi, transportasi, dan refinasi CO₂, yang tentunya memerlukan investasi awal.
Nilai ekonomi dari utilisasi CO₂ harus lebih besar dibandingkan dengan biaya transportasi dan penyimpanan. Hal ini mencakup perhitungan detil mengenai teknologi yang digunakan dalam proses refinasi dan potensi permintaan untuk produk yang dihasilkan. - Carbon Sequestration (Sequestrasi Karbon)
Sequestrasi karbon adalah proses di mana karbon yang ditangkap disimpan dengan aman untuk jangka panjang. Berbagai metodologi dapat digunakan, termasuk penggunaan reservoir minyak dan gas, tambang batubara, serta sumur dalam untuk air.
Utilisasi dalam konteks ini juga melibatkan peningkatan kesuburan tanah dengan memanfaatkan mikroba untuk menciptakan bahan makanan yang lebih baik, serta pemanfaatan CO₂ untuk meningkatkan produktivitas ekosistem.
Melalui pendekatan ini, CCS dan CCUS berpotensi untuk berkontribusi signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim, sambil juga menciptakan peluang ekonomi baru di sektor industri yang berkelanjutan.
CCUS Tidak Hanya untuk Industri Minyak dan Gas
Ada persepsi bahwa CCS dan CCUS hanya relevan untuk industri minyak dan gas. Namun, teknologi ini memiliki aplikasi yang lebih luas dan dapat diimplementasikan di berbagai sektor industri. Contohnya termasuk:
- Tata Steel: Di mana CO₂ dapat ditangkap selama proses produksi baja.
- Industri plastik: Penggunaan CO₂ dalam pembuatan produk plastik ramah lingkungan.
- Konstruksi: Integrasi CO₂ dalam bahan bangunan untuk mengurangi jejak karbon.
Dengan demikian, CCUS merupakan suatu konsep yang penting untuk mitigasi perubahan iklim, yang tidak terbatas pada sektor energi, melainkan dapat diterapkan di berbagai sektor industri lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Pemanfaatan atau Utilitasi CO₂
Pemanfaatan karbon yang telah ditangkap dan disimpan, menjadi berbagai macam produk. |
Utilisasi CO₂ memiliki banyak potensi aplikasi di berbagai sektor, terutama dalam industri konvensional. Misalnya, CO₂ digunakan dalam produksi plastik, pembuatan minuman bersoda, serta dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR).
Selain itu, CO₂ juga dapat dimanfaatkan di industri lain seperti penerbangan, pengiriman, dan bioteknologi. Para profesional di bidang teknik, terutama teknik kimia, sudah memiliki gambaran jelas tentang bagaimana CO₂ dapat diutilisasi dalam berbagai proses.
Di Indonesia, penting bagi perusahaan-perusahaan di sektor minyak dan gas untuk mengeksplorasi peluang ini sebagai cara untuk menciptakan sumber pendapatan tambahan. Hal ini juga akan berkaitan dengan mekanisme kontrak dan pajak yang berlaku. Dengan keahlian dalam bidang ini, seorang insinyur dapat menemukan banyak peluang karir di industri yang terus berkembang ini.
Supply Chain (Rantai Pasokan) CCUS
Pertamina telah mengidentifikasi dan melaksanakan rantai pasokan untuk CCUS yang meliputi langkah-langkah berikut: penangkapan, pemurnian, transportasi, dan injeksi CO₂ ke dalam aquifer. Di Natuna, misalnya, banyak operasi yang melibatkan proses ini. Natural gas dengan kandungan CO₂ tinggi dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk, termasuk hidrogen, etanol sehat, asam asetat, dan dimetil eter (DME). Semua produk ini dapat dihasilkan melalui purifikasi gas dan modifikasi proses produksi metanol yang lebih ramah lingkungan.
Skema teknologi CCUS |
Penggunaan CO₂ juga dapat dilihat dalam berbagai aplikasi industri, seperti blending gas (misalnya, A20 dan LPG), industri kimia, dan fuel cells (sel bahan bakar metanol langsung). Selain itu, sintesis poliuretan yang menggunakan CO₂ untuk pembuatan lapisan pelindung (coating), sealant, adhesif, dan elastomer kini semakin umum digunakan, dengan negara-negara seperti Korea dan Jepang menjadi pelopor dalam penerapan teknologi ini.
Dalam konteks polimer, CO₂ juga dapat digunakan sebagai katalis, baik melalui metal doping maupun tanpa penggunaan metal. Ini menunjukkan bagaimana CO₂ dapat diintegrasikan ke dalam proses kimia untuk menciptakan produk yang lebih efisien.
Re-Capture CO₂
Re-capture CO₂ adalah proses di mana CO₂ yang telah ditangkap digunakan kembali untuk konversi menjadi produk lain, seperti hidrogen dan metanol. Proses ini juga mencakup produksi metanol hijau (green methanol) dan metanol biru (blue methanol), yang dirancang untuk menghasilkan emisi yang lebih rendah. Contoh penerapan metanol ini bisa ditemukan di lapangan geotermal, sementara metanol biru dapat dihasilkan dari proses hulu di kilang minyak. Pertamina, BP, dan Chevron sudah mulai menerapkan proses ini, yang menunjukkan potensi signifikan dari pendekatan ini dalam mengelola CO₂.
Biocapture CO₂
Perusahaan-perusahaan minyak semakin aktif dalam mengimplementasikan strategi biocapture CO₂, termasuk penanaman hutan mangrove dan rehabilitasi terumbu karang. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi emisi sambil meningkatkan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, penelitian tentang mikroalga juga menunjukkan bahwa mikroalga dapat menyerap CO₂ lebih efektif. Banyak perusahaan mulai membangun fasilitas untuk memanfaatkan potensi mikroalga dalam penyerapan CO₂.
Dengan pemanfaatan CO₂ yang inovatif dan berkelanjutan, sektor industri, terutama perminyakan, dapat memainkan peran penting dalam mengurangi emisi karbon sambil menciptakan peluang ekonomi baru melalui praktik-praktik CCUS yang efektif.
Dampak Dekarbonisasi dalam Industri Minyak dan Gas
Dampak Signifikan Dekarbonisasi pada Industri Oil and Gas
Dekarbonisasi memiliki dampak signifikan yang perlu dipertimbangkan dalam konteks industri minyak dan gas, terutama terkait dengan investasi dan ekonomi. Salah satu dampak utama adalah kebutuhan untuk mengelola biaya, di mana perusahaan harus mempertimbangkan apakah investasi dalam dekarbonisasi akan memberikan pengembalian yang layak. Hal ini menciptakan tantangan finansial yang perlu dikelola dengan baik.
Regulasi juga berperan besar dalam mendorong dekarbonisasi, mengingat perusahaan-perusahaan ini adalah sumber polusi. Oleh karena itu, perusahaan harus mematuhi regulasi yang ada, dan menunjukkan komitmen terhadap dekarbonisasi, yang akan menjadi faktor penentu dalam hubungan pasar.
Inovasi Teknologi
Inovasi teknologi menjadi kunci dalam mendukung dekarbonisasi. Konsep seperti Carbon Capture Storage (CCS) menjadi penting untuk mengurangi emisi, sementara pengembangan bahan bakar rendah karbon juga harus diperhatikan. Perubahan operasional yang diperlukan dalam proses bisnis menuntut keterampilan khusus, sehingga memberikan peluang bagi profesional di bidang teknik minyak dan gas serta teknik proses untuk menciptakan model operasional yang sejalan dengan prinsip-prinsip dekarbonisasi.
Risiko Transisi
Transisi menuju dekarbonisasi juga tidak tanpa risiko. Ada potensi masalah terkait nilai aset dan ketidakpastian regulasi yang dapat berdampak negatif pada keuangan perusahaan. Jika keterampilan yang diperlukan tidak memadai, transisi ini bisa mengarah pada kegagalan yang lebih besar. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang risiko ini sangat penting.
Tantangan Geopolitik
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah aspek geopolitik, termasuk embargo dan dinamika perdagangan yang dapat mempengaruhi industri. Perubahan dalam kebijakan global terhadap bahan bakar fosil akan mempengaruhi pendekatan terhadap dekarbonisasi.
Secara keseluruhan, dekarbonisasi di industri minyak dan gas menghadirkan tantangan sekaligus peluang yang memerlukan sistem instrumentasi yang baik dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan pasar.
Emisi CO₂ Terkait Energi dan Total Pasokan Energi
Menarik untuk dicatat bahwa saat kita mengurangi emisi, kebutuhan energi tetap tinggi. Hal ini menciptakan tantangan untuk memastikan pasokan energi yang cukup sambil mengurangi emisi. Perusahaan perlu mencari cara untuk memperbesar pasokan energi sambil mengecilkan jejak emisi mereka.
Pengurangan Permintaan Minyak dalam Skema APS dan NZE
Dalam konteks net zero emission (NZE), standar yang lebih ketat dan target yang lebih ambisius harus dipatuhi. Perusahaan perlu melebihi standar yang ditetapkan untuk memenuhi komitmen negara terhadap pengurangan emisi. Penggunaan energi alternatif seperti energi angin dan surya, serta efisiensi energi, akan menjadi kunci dalam mencapai target ini.
Kebutuhan Gas Alam
Permintaan gas alam secara historis menunjukkan tren yang tinggi, tetapi dengan efisiensi yang lebih baik dalam skenario NZE, target pasokan juga harus lebih rendah.
Sebagai penutup, dekarbonisasi dalam industri minyak dan gas memerlukan permintaan yang kuat untuk mengintegrasikan berbagai aspek teknologi. Inovasi yang berkelanjutan, pengaturan yang jelas, serta kolaborasi antarlembaga industri menjadi kunci untuk mengatasi tantangan yang ada. Dulu, fokus utama adalah pada pengambilan dan pemanfaatan sumber daya minyak dan gas. Namun, kini kita juga harus mempertimbangkan upaya untuk menanam pohon dan inisiatif keberlanjutan lainnya yang dapat mendukung prinsip-prinsip lingkungan.
Tantangan ini tentu terkait dengan aspek ekonomi, terutama dalam mengelola risiko investasi, agar kita dapat mencapai konsep keberlanjutan yang berdampak positif secara ekonomi. Pada akhirnya, keberlanjutan harus menjadi prioritas utama, di mana kita tidak hanya memperhatikan aspek lingkungan tetapi juga memastikan kelangsungan operasional perusahaan.
Dalam konteks teknologi seperti CCS dan CCUS, pemikiran yang mendalam dan strategi yang tepat sangat penting. Proses yang kompleks dan beragam memerlukan teknologi dan peralatan yang canggih. Oleh karena itu,penting bagi kita untuk mendalami bidang ini. Saat ini, banyak program pendidikan dan pelatihan yang dapat memberikan pemahaman mendalam mengenai konsep Carbon Capture Storage Indonesia (CCS) dan Carbon Capture Storage Utilization and Storage-nya (CCUS).
Posting Komentar untuk "Carbon Capture Storage Indonesia: Regulasi dan Pemanfaatannya"
Posting Komentar